Just another Wordpress.com weblog

Archive for the ‘Kisah Teladan’ Category

l-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika ‘algojo penjara’ itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu ‘boot keras’ milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseoran mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. “Hai…hentikan suara jelekmu! Hentikan…!” Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu’nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

(lebih…)

Proses Terpilihnya “Abu Bakar”

Nabi Muhammad SAW adalam pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang mneruskan tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat beliau.

(lebih…)

Fitnah Yang Keji

Fitnah Yang Keji
Laporan: (MHM)

[Kisah Teladan]
Nabi Muhammad SAW sejak kecil sampai wafat tidak bisa menulis dan membaca, Tetapi banyak kisah-kisah purbakala lahir dari lisannya dan dicatat generasi-generasi berikutnya. Kalau benar beliau tak bisa membaca, dari mana beliau tahu kisah-kisah itu? Apakah didengarnya dari penuturan para ahli kitab atau dari seseorang yang memang super luar biasa, yang hafal ratusan kisah purbakala? Ulama berpendapat bahwa kisah-kisah yang pernah beliau tuturkan kepada para sahabat, diperolehnya bukan dari manusia melainkan langsung dari Allah. Tentang bagaimana caranya, wallahu a’lam, manusia sulit mengetahuinya.

Di antara kisah-kisah purbakala yang dinyatakan berumber dari Nabi terdapat di dalam kitab Sahih al-Bukhari dan satu di antaranya ialah kisah Juraij. Sayangnya, kisah Juraij yang terdapat di dalam Sahih al-Bukhari tersebut bisa mengesankan sebagai hasil khayalan. Padahal kalau memang benar bersumber dari Nabi dan diceritakan sebagaimana yang Nabi tuturkan, tidak ditambah-tambahi atau dikurangi, seharusnya kisah itu akurat.

Di dalam kisah itu, asal usul sang tokoh tak dijelaskan, begitu juga tanggal dan tempat serta tahun kelahirannya, misalnya pada zaman Nabi apa ia hidup Yang diberitahukan hanya tokoh yang bernama Juraij itu adalah seorang pemuda yang rajin shalat dan berzikir serta melakukan ibadah mahdah. Cara shalatnya bagaimana, juga tak jelas. Agaknya bukan shalat menurut yang diajarkan Nabi Muhammad, sebab sang tokoh hidup pada zaman sebelum Muhammad SAW.

Juraij membuat scbuah tempat khusus untuk shalat dan berzikir kepada Allah. Namanya sauma’ah, semacam mushalla (langgar/surau/meunasah) menurut versi Indonesia sekarang.

Nah, pada suatu hari. ketika Juraij shalat di sauma’ahnya itu, ibunya datang dan memanggilnya.

“Hai Juraij! aku ibumu, jawablah panggilanku.”

Panggilan ibunya itu menyebabka Juraij terganggu dalam shalatnya. Ia dihadapkan pada pilihan dilematis. Menyahut panggilan ibu kandung, hukumnya wajib. Sebaliknya kalau ia menjawab panggilan ibunya itu, shalatnya bisa batal Bila tidak menjawab, ia juga berdosa, ragu harus memilih yang mana.

Dalam kondisi ragu demikian. Juraij akhirnya bertanya kepada Allah, apakah panggilan ibunya itu yang disahutnya dengan konsekuensi shalatnya batal, atau shalatnya dilanjutkannya dengan konsekuensi panggilan ibunya tak dapat disahutnya. Juraij ternyata memilih meneruskan shalatnya.

Teks hadis tak menjelaskan apakah sang ibu tahu putranya itu sedang shalat atau tidak. Andaikata ia tahu, berarti ia salah, karena memanggil orang yang sedang shalat walaupun yang dipanggilnya itu putra kandungnya sendiri. Kalau ia tak tahu, itu mengapa ia memanggil putranya itu? Bukankah mungkin saja sang putra sedang berada di tempat?

Tidak berapa lama kemudian, ibunya datang untuk kedua kalinya. lalu memanggil,

“Juraij! aku ibumu, jawablah panggilanku….”

Kembali Juraij dihadapkan pada dilema yang sama. Dan kembali ia bertanya Ia kepada Allah:

“Ya Allah!, ibuku atau shalatku?”

Sementara itu Juraij tetap memilih meneruskan shalatnya. Juga tak dijelaskan di dalam hadis tersebut, apakah pilihan Juraij ini didasarkan pada jawaban dari Allah atau hanya sekadar mengikuti kata hatinya saja.

Tiga kali ibunya datang memanggilnya ketiganya dilakukan bertepatan pada saat Juraij shalat, dan tiga kali pula jawaban dari sang putra tidak didapatkan sang ibu.

Kisah ini memang terasa kurang logis Sebab menurut logika. kalau jawaban anak tak didapatkan, sang ibu biasa mencaritahu penyebabnya. Kalau sang ibu mengetahui bahwa sang putra sedang shalat, ia seharusnya merasa bangga mempunyai anak yang salih dan taat beribadah. Tetapi di dalam hadis itu, Juraij digambarkan malah merasa kecewa.

Mungkin pula karena ibunya terlalu kecewa, akhirnya ia berdoa kepada Allah:

“Ya Tuhan, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawabnya, Ya Tuhan, janganlah Engkau matikan dia sebelum dia mendapat fitnah yang disebabkan oleh perempuan pelacur….”

Doa ibu ini jelas bukan doa yang baik, Ibu yang baik biasanya mendoakan kebaikan untuk anak kandungnya, bukan sebaliknya. Apalagi Juraij dalam hal ini tak dapat diklaim bersalah atau durhaka kepada ibunya. Sebab ia tak menyahut panggilan ibunya itu bukan karena ia tak mau menjawab, tetapi karena ia sedang shalat menghadap Tuhannya. Seolah ada paradoks, di satu sisi,- ia taat beribadah kepada Allah, sementara di sisi lain, ia bersikap tak simpatik terhadap ibu kandungnya yang melahirkan dan mengasuhnya sejak kecil.

Lanjutan kisah setelah peristiwa itu, pada suatu hari seorang penggembala kambing berteduh di sauma’ah Juraij yang letaknya jauh terpencil dari pusat keramaian. Pada saat yang bersamaan, datang pula seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga berteduh di sauma’ah tersebut. Kemudian keduanya berzina.

Ini pun agak aneh. Mengapa harus berzina? Bahkan dalam hadis itu dikatakan perzinaan itu menghasilkan seorang bayi. Bayi yang tak jelas siapa bapaknya itu kemudian menimbulkan masalah tersendiri, yang akhirnya membawa petaka.

Masyarakat mengecam perempuan itu sebagai pelacur dan mereka mempertanyakan siapa sesungguhnya bapak bayi itu. Kalau pelacur itu jujur, tentunya ia akan mengaku saja, bapak bayi itu penggembala kambing. Tetapi pelacur itu ternyata tak jujur. la menfitnah Juraij.

Dituduhnya Juraijlah yang seharusnya bertanggungjawab terhadap bayi itu. Dan ini mungkin manifestasi dari makbulnya doa ibu Juraij, bahwa Juraij tidak mati sebelum bermasalah dengan pelacur.

Begitu masyarakat diberitahu bahwa anak yang mungkin diklaim sebagai anak haram jadah itu merupakan anak Juraij, mereka marah besar. Entah siapa yang memprovokasi, massa berduyun-duyun mencari Juraij. Setiba di sauma’ahnya, mereka temukan Juraij sedang shalat.

Demo tanpa sebab yang jelas ini tak dapat dibendung. Ketika Juraij dipanggil tidak menjawab, para pendemo tambah berang. Sebagai manifestasinya, mereka merobohkan sauma’ah Juraij.

Juraij terkejut dan segera keluar menemui para pendemo yang kurang sopan itu, lalu bertanya apa kesalahannya sehingga sauma’ahnya mendadak dirobohkan, Massa dengan beringas menjawab bahwa Juraij ternyata alim palsu, moralis gadungan, karena telah menghasilkan anak zina melalui seorang pelacur murahan. Menurut mereka, orang yang rajtn shalat dan berzikir tak pantas berzina, apalagi dengan pelacur murahan. Mereka bertindak tanpa terlebih dulu melakukan cek dan ricek.

Setelah Juraij tahu duduk permasalahannya, ia minta mereka menunjukkan anak yang diklaim sebagai hasil perzinaannya dengan pelacur murahan itu. Setelah anak itu dibawa ke hadapannya, terjadi sesuatu yang tak lazim terjadi, atau bahkan mungkin dianggap irasional, yaitu Juraij bertanya kepada anak itu,

“Siapakah bapakmu?”

Andaikata anak itu diam tak menjawab, tak aneh. Sebab di mana-mana yang namanya bayi memang belum mampu memahami pertanyaan dan belum bisa menjawabnya. Tetapi kasus ini aneh bin ajaib, Bayi tersebut ternyata bisa menjawab.

“Bapakku seorang penggembala kambing,” katanya.

Jawaban ini terdengar oleh semua peserta demo. Mereka tentu merasa heran. Mungkin seumur hidup mereka; baru kali itu mereka melihat dan mendengar bayi bisa berbicara, bahkan menjawab pertanyaan orang dewasa. Keanehan itu mungkin menyebabkan para .pendemo yakin bahwa Juraij memang benar dan jujur, dan hanya menjadi korban fitnah yang keji.

Yang menjadi tugas selanjutnya para pedemo itu seharusnya mencari lelaki yang telah menghamili pelacur itu. Tetapi dalam hadis tersebut tak dijelaskan bahwa para pedemo berupaya mencari lelaki pelaku zina dimaksud. Di dalam hadis itu hanya dikatakan bahwa akhirnya para pedemo merasa menyesal teiah menuduh Juraij berzina. Mereka lebih menyesal lagi Karena telah merobohkan sauma’ah tempat ia berzikir. Padahal tak sepantasnya mereka melakukannya.

Karena merasa telah berdosa dan bersalah merobohkan bangunan orang yang sesungguhnya tak bersalah, mereka menyatakan akan mombangun kembali sauma’ah Juraij dari bahan yang jauh lebih berkualitas dan mewah. Tetapi Juraij tak mau sauma’ahnya dibangun dengan bahan-bahan yang mewah dan mahal.

Apa yang dapat dipetik dari kisah di atas9 Beberapa di antaranya mungkin sebagai berikut
1. Menjawab panggilan ibu kandung adalah wajib bagi seorang anak. Bahwa Juraij sedang shalat ketika dipanggil ibunya – tapi toh ia mendengar panggilan itu – maka seharusnya ia segera mendatangi ibunya setelah selesai menunaikan shalat, sehingga ibunya tak perlu sampai tiga kali dating memanggilnya.
2. Doa ibu mengenai anaknya kepada Tuhan sangat mustajab, terlebih karena ibunya merasa dikecewakan oleh anak. Doa ibu terpenuhi bahwa Juraij menghadapi masalah dengan perempuan pelacur, meski sebatas tuduhan dan akhirnya terbebas.
3. Tuhan melindungi Juraij dari fitnah keji karena ia istiqomah dalam beribadah dan tidak melakukan perbuatan maksiat. Ia hanya dikagetkan oleh tindakan massa merobohkan suraunya sebagai ganjaran kelalaiannya tidak memenuhi panggilan ibunya, atau karena egonya beribadah kepada Tuhan.
4. Masalah bayi yang bisa berbicara, semata-mata merupakan hak prorogatif Tuhan.
5. Massa yang termakan fitnah dan bertindak ceroboh, akhirnya diliputi penyesalan dan menanggung akibat kecerobohannya, membangun kembali surau Juraij dengan kualitas yang lebih baik, meski Juraij tidak menuntutnya.